UU No.36 tentang Telekomunikasi -> Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana




BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.


                                                                  Pasal 46
  
(1)    Sanksi admiriistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.

(2)    Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.


BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 48


Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


  Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50


Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53

(1)    Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2)    Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling Iama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54



Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,
Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.


UU No.36 tentang Telekomunikasi -> Penyidik





BAB V
PENYIDIKAN

Pasal 44

(1)    Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2)    Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

b.   melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

c.    menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;

d.   memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;

e.   melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.     menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

g.   menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h.   meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .

i.     mengadakan penghentian penyidikan


(3)    Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diiaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana. 

UU No.36 tentang Telekomunikasi -> Penyelenggara Telekomunikasi


BAB IV

PENYELENGGARA


Bagian Pertama

Umum


Pasal 7

    1. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :

   a.   penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;

   b.   penyelenggaraan jasa telekomunikasi;

   c.    penyelenggaraan telekomunikasi khusus.



2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

   a.   melindungi kepentingan dan keamanan negara;

   b.   mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;

  c.    dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;

  d.   peran serta masyarakat.



Bagian Kedua
PENYELENGGARA


Pasal 8

1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a.   Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

b.   Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

c.    badan usaha swasta; atau

d.   koperasi.

2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh :

a.   perseorangan

b.   instansi pemerintah;

       c.    badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.

3.  Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 9

1.   Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.

2.  Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

3. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :

a.   keperluan sendiri;

b.   keperluan pertahanan keamanan negara;

c.    keperluan penyiaran.

4.   Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a.   perseorangan;

b.   instansi pemerintah;

c.    dinas khusus;

d.   badan hukum.

5.  Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI

Pasal 10

(1)    Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.

(2)    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Keempat
PERIZINAN

Pasal 11

(1)    Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.

(2)    lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :

a.   tata cara yang sederhana;

b.   proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta

c.    penyelesaian dalam waktu yang singkat.

(3)    Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.




Bagian Kelima
HAK dan KEWAJIBAN PENYELENGGARA dan MASYARAKAT


Pasal 12

(1)    Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.

(2)    Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.

(3)    Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 14


Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

(1)    Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.

(2)    Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.

(3)    Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 16



(1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa teiekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.

(2)    Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.

(3)    Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 17


Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip :

a.   perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;

b.   peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan.

c.    pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.




Pasal 18

(1)    Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/ merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.

(2)    Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.

(3)    Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.




Pasal 19


Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.



Pasal 20


Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :

a.      keamanan negara;

b.      keselamatan jiwa manusia dan harta benda;

c.      bencana alam;

d.      marabahaya; dan atau

e.      wabah penyakit.


Pasal 21


Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.



Pasal 22


Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :

a.      akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau

b.      akses ke jasa telekomunikasi; dan atau

c.      akses ke jaringan telekomunikasi khusus.



Bagian Keenam
PENOMORAN

Pasal 23

(1)    Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.

(2)    Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 24

Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.



Bagian Ketujuh
INTERKONEKSI dan BIAYA HAK PENYELENGGARA

Pasal 25

(1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

(2)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi Iainnya.

(3)    Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip :

a.   pemanfaatan sumber daya secara efisien;

b.   keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;

c.    peningkatan mutu pelayanan; dan

d.   persaingan sehat yang tidak saling merugikan.

(4)    Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 26

(1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dan persentase pendapatan.
(2)    Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedelapan
TARIF

Pasal 27

Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 28

Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.


Bagian Kesembilan
TELEKOMUNIKASI KHUSUS

Pasal 29
(1)    Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.

(2)    Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.




Pasal 30

(1)    Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.

(2)    Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.

(3)    Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 31


(1)    Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi Iainnya.
(2)    Ketentuan Iebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.



Bagian Kesepuluh
PERANGKAT TELEKOMUNIKASI, SPEKTRUM FREKUENSI RADIO dan ORBIT SATELIT


Pasal 32


(1)    Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)    Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 33


(1)    Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.

(2)    Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.

(3)    Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.

(4)    Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 34


(1)    Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan Iebar pita frekuensi.
(2)    Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunan orbit satelit.

(3)    Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 35

(1)    Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2)    Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di Iuar peruntukannya, kecuali :

a.   untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan IaIu Iintas pelayaran; atau
b.   disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau

c.    merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.

(3)    Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 36

(1)    Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2)    Spektrum frekuensi radio diiarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia di Iuar peruntukannya, kecuali :

a.   untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan Iafu Iintas penerbangan; atau

b.   disambungkan ke jaringan teiekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau

c.    merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.

(3)    Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 37



Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.